RSS Feed

Nasi Goreng Sosis Pedas

Posted by: Anik / Category:


Nasi Goreng Sosis Pedas


Bahan :

  • 3 porsi nasi putih
  • Cabai merah dan cabai rawit sesuai selera
  • 8 siung Bawang merah
  • 1 butir telur ayam
  • Garam secukupnya
  • Kaldu bubuk secukupnya
  • 1 sdt terasi
  • 1 batang daun bawang
  • 4 buah sosis ayam diiris kecil-kecil
  • Kecap manis
  • Minyak gorang

Cara membuat:

  1. Haluskan cabai merah, cabai rawit, bawang merah, garam, dan terasi
  2. Sangrai bumbu yang telah dihaluskan dengan api kecil
  3. Setelah tercium aroma harum dari bumbu yang disangrai, masukkan sosis yang telah diiris kecil
  4. Campurkan telur ayam kedalam bumbu yang disangrai tadi sampai setengah matang
  5. Masukkan nasi kedalam penggorengan, ratakan bumbu supaya meresap pada nasi
  6. Tambahkan kaldu bubuk dan kecap manis secukupnya. Aduk hingga rata
  7. Masukkan potongan daun bawang. Campurkan hingga rata
  8. Nasi goreng siap disajikkan, nikmat disantap dengan krupuk dan lalapan favorit Anda





Baca selengkapnya »

Cumi Crispy

Posted by: Anik / Category:


Cumi Crispy


Bahan:

  • 150 gr cumi ukuran sedang, potong kecil dengan bentuk sesuai selera
  • 200 gr tepung terigu
  • 100 gr tepung beras
  • 100 gr tepung maizena
  • 1 sdt baking powder
  • 1 butir telur ayam
  • Garam secukupnya
  • Lada secukupnya


Cara membuat:

  1. Bersihkan cumi dan buang bagian kulit bagian hitam, lalu potong kecil-kecil.
  2. Campurkan cumi dengan garam, lada, dan putih telur, aduk sampai berbusa, diamkan sampai dengan setengah jam.
  3. Untuk adonan kering, campur tepung terigu, tepung beras, tepung maizena, dan backing powder ke dalam mangkuk besar. Tambahkan lada dan garam secukupnya.
  4. Setelah siap, masukkan cumi kedalam adonan tepung. 
  5. Goreng cumi dengan api kecil sampai berwarna kuning keemasan.
  6. Sajikan dengan saus favorit Anda.
  7. Cumi Crispy siap di hidangkan.



Baca selengkapnya »

Tradisi Behavioris

Posted by: Anik / Category:



Tradisi Behavioris 
Merupakan Salah Satu Tradisi Psikologi Kognitif  Yang Mempengaruhi Pembelajaran IPA
Driver (1982) menyatakan bahwa ada tiga tradisi utama dari psikologi kognitif  yang mempengaruhi pendidikan IPA. Ketiga tradisi itu adalah tradisi: behaviourist, developmental, dan constructivist. Osborne dan Wittrock (1985) menambahkan satu tradisi lainnya, yaitu  information proccessing. Walaupun Case (1985) menyebutkan bahwa information proccessing yang diusulkan oleh  Klahr dan Wallace (1979) itu merupakan perkembangan lebih lanjut dari  teori perkembangan kognitif. Karena itu, pada Subunit ini ketiga tradisi tersebut akan dibicarakan lebih rinci dan secara sepintas dibahas tradisi information proccessing.
1. Tradisi Behaviouris
Seseorang dikatakan belajar kalau seseorang itu mengalami suatu perubahan tingkah laku. Tanpa ada perubahan tingkah laku, seseorang tidak dikatakan belajar. Mungkin karena itu, bagi orang yang dari etnis Jawa sesekali mendengar ucapan seseorang: ”Ora mambu sekolahan” – tidak pernah  bersekolah- untuk mendekripsikan orang yang tingkah lakunya kurang baik. Karena, jika bersekolah (berpendidikan) diasumsikan tingkah lakunya lebih baik dari pada yang tidak bersekolah. Dalam tradisi behavioris, belajar didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang mencerminkan dari keadaan belum tahu ke keadaan sudah tahu.
a. Pengertian tradisi behavioris
Tradisi behaviouris menekankan pada gagasan bahwa peningkatan rangkaian rumit dari tingkahlaku (dan ketrampilan), dari mengingat hingga penyelesaian masalah (problem solving) dapat dilaksanakan dengan menggunakan strategi hirarki dari proses mengajar-belajar (White, 1975; Driver 1982, Osborne dan Witrock, 1985).
Menurut Calvin dan gardner (1993:224) menjelaskan bahwa Dollard dan Miller mengemukakan bahwa ada empat unsur konseptual yang penting dalam proses belajar, yakni dorongan, isyarat, respon, dan perkuatan (reinforcement). Isyarat adalah stimulus yang membimbing respon organisme dengan mengarahkan atau menentukan secara tepat sifat respon. “Isyarat-isyarat menentukan kapan organisme harus merespon, mana yang harus direspon, dan respon mana yang harus diberikan” (Dollard dan Miller, 1950:32). Macam – macam dan intensitas isyarat berbeda-beda. Jadi, ada isyarat visual dan isyarat auditorik. Setiap stimulus juga dapat menjadi dorongan apabila cukup kuat, jadi satu stimulus dapat memiliki nilai dorong dan nilai isyarat sekaligus, ia dapat membangkitkan dan mengarahkan tingkah laku. Dollard dan Miller menjelaskan bahwa sebelum suatu respon tertentu dapat dihubungkan dengan suatu isyarat tertentu, respon harus terjadi. Jadi, tahap yang menentukan proses belajar pada suatu organisme adalah melakukan respon yang cocok. Stimulus-stimulus yang kuat, seperti kejutan, dapat membangkitkan respon-respon internal yangt kuat, yang pada gilirannya menghasilkan stimulus-stimulus internal yang lebih lanjut lagi. Stimulus-stimulus internal ini bertindak sebagai isyarat untuk membimbing atau mengontrol respon-respon berikutnya dan berfungsi sebagai dorongan yang menggiatkan organisme dan menjadikan orang itu tetap aktif sampai terjadi perkuatan atau suatu proses lain, seperti keletihan yang akan menghalanginya.
Pengertian belajar yang paling populer dalam tradisi ini, menurut Hergenhahn (1982), adalah perubahan tingkah laku yang relatif permanen sebagai hasil dari tindakan penguatan (reinforcement). Tingkah laku itu apa?. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,  dituliskan ’tingkah’ berarti ’laku’ atau ’perangai’. Juga dituliskan tingkah  laku  sebagai  kata  majemuk  mempunyai  arti  yang  sama  dengan  itu. Penggunaan kata  ’tingkah laku’ dicontohkan seperti  : ”anak yang baik tingkah lakunya”.
Blackman (1984) menyebutkan ada banyak macam pengertian tingkah laku yang lebih teknis sebagai padanan dari istilah behaviour dalam psikologi dan pendidikan. Di antaranya adalah tingkah laku merupakan suatu media yang dapat digunakan untuk menunjukkan suatu struktur telah dipelajari atau tingkah laku merupakan fungsi dari stimuli dan pujian atau hukuman. Dalam pembelajaran, stimuli, (dan juga pujian/hukuman)  merupakan suatu  kejadian yang dibuat dengan cara memanipulasi lingkungan. Respons  seorang siswa terhadap stimuli diwujudkan dalam tingkah lakunya. Dengan demikian, tingkah laku dipandang sebagai hasil dari kegiatan pembelajaran.
Salah satu prosedur untuk meningkatkan tingkah laku yang sederhana menjadi yang lebih komplek adalah dengan cara menempatkan suatu target kemampuan intelektual di titik puncak suatu piramida dan kemudian melakukan analisis sejumlah bahan ajar untuk mengidentifikasi sejumlah kemampuan (intelektual) prasyaratnya (Hacker, 1984). Prosedur ini didasarkan pada teori hirarki belajar yang dibuat Gagne. Dimulai dengan    menetapkan  secara verbal deskripsi operasional sejumlah variabel kemampuan yang diharapkan,   membuat hipotesis tentang hubungan hirarki antar variabel  tersebut,  model  hirarki  belajar untuk  mewujudkan  hubungan  yang dihipotesiskan, serta sejumlah tata cara untuk validasi hirarki (Bergan, 1982).
White (1974) menunjukkan model penelitian untuk memvalidasi hirarki belajar Gagne. Penelitannya didasarkan pada hipotesis kemampuan prasyarat. Misalnya, Bart dan Kurt (1973) mengunakan metode ordering theory. Ketrampilan intelektual disusun secara hirarkis menurut pendapat para ahli. Ketrampilan intelektual yang ada di bawah merupakan ketrampilan prasyarat untuk ketrampilan yang berada di atasnya langsung. Seorang siswa tidak mungkin menguasai ketarampilan atas kalau keterampilan yang di bawahnya tidak dikuasai lebih dahulu.
Satu hal yang penting dalam tradisi behaviouris adalah lingkungan belajar. Tradisi behaviouris menganggap lingkungan belajar merupakan bagian  penting dari pembelajaran (Grippin dan Peters, 1984). ”Ciptakan lingkungan yang sesuai, maka Anda akan dapat membangun suatu ’habitat’ yang Anda kehendaki” Kata mereka. Misalnya, classical conditioning (Palvov), operant  coditioning (Skiner) dan instrumental conditioning (Thorndike) merupakan beberapa cara untuk menciptakan lingkungan belajar ini. Memanipulasi lingkungan dapat mengubah tingkah laku siswa. Abin Syamsuddin (1996:19) mengemukakan bahwa Pandangan behavioristik menekankan bahwa pola-pola perilaku dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan (reinrforcement) dengan menkondisikan stimulus dengan lingkungan. Dengan demikian, perubahan perilaku (behavior change) sangat mungkin terjadi.
Pola urutan itu tentu dapat pula digambarkan secara klinis (melingkar), yang berarti bilamana kebutuhan yang serupa terasa kembali maka pola mekanisme itu akan diulang kembali (stereotype behavior)
Telah diketahui bahwa salah  satu  cara  yang  paling  disenangi  dalam  memanupilasi  lingkungan  adalah dengan memberi pujian dan hukuman (Hilgard dan Bower 1975, Hergenhahan 9184, Fontana 1984, Grippins dan Peters 1984).   Jadi, ada dua hal yang penting dalam tradisi pembelajaran behaviourist. Pertama, materi bahan ajar disusun secara hirarkis. Kedua lingkungan belajar siswa dimanipulasi sedemikian rupa sehingga mendorong siswa belajar.
Jadi, belajar menurut tradisi behavioris adalah perubahan tingkah laku dari hasil pengalaman karena belajar merupakan hasil interaksi stimulus dan respon.

b. Aplikasi tradisi behavioris
Sebagai contoh, perhatikan diagram dibawah, tujuan mata kuliah ditetapkan dalam bentuk Kompetensi mata kuliah, yaitu: Setelah menyelesaikan mata kuliah ini mahasiswa dapat mengembangkan pembelajaran   IPA di SD. Kemampuan-kemampuan lain diturunkan dari tujuan tersebut dinyatakan dalam bentuk Kompetensi Dasar (KD), dari KD 1 hingga KD 9.

Kesembilan Kompetensi Dasar itu adalah:
KD 1 : Mampu menjelaskan Hakekat IPA
KD 2 : Mampu menjelaskan  hakekat pembelajaran IPA SD
KD 3 : Mampu  menggali prekonsepsi siswa IPA SD,
KD 4 : Mampu membuat review literatur tentang pendidikan IPA SD
KD 5 : Mampu memilih  prinsip-prinsip pembelajaran IPA SD dalam pengalaman belajar yang cocok,
KD 6:Mampu membuat  pengembangan  pembelajaran  tradisi  kostruktivisme dalam pembelajaran IPA SD,
KD 7 : Mampu membuat RPP  IPA SD,
KD 8 : Mampu membuat kegiatan remediasi IPA SD dan
KD 9:Mampu melaksanakan pembelajaran IPA dan meremediasi kesulitan belajar siswa
Setelah itu, disusunlah materi bahan ajar yang dihipotesiskan dapat mewujudkan kompetensi-kompetensi itu. materi bahan ajar  terdiri enam unit.
Keenam unit itu adalah:
Unit 1: Hakikat IPA
Unit 2: Hakikat pembelajaran IPA SD
Unit 3: Miskonsepsi siswa dalam IPA
Unit 4: Review literatur tentang Pendidikan IPA
Unit 5: Pembelajaran IPA
Unit 6: Implementasi pengembangan pembelajaran IPA
Bila kita secara konsekuen menggunakan hirarki belajar model Gagne maka setelah menyelesaikan unit 1, Anda harus menetapkan sendiri apakah telah menguasai bahan unit 1 ini atau belum. Anda dapat menggunakan tes yang tersedia di akhir unit 1. Jika sudah menguasai, lanjutkan ke unit 2 dan jika belum kembalilah ke awal unit 1 lagi. Selidikilah  hal-hal  yang  belum  diketahui  lewat  tes-tes  formatif  yang  tersedia. Demikian selanjutnya hingga dapat menuntaskannya hingga Unit terakhir.
Penguatan-penguatan dapat berupa latihan-latihan yang terselip sepanjang unit. Jika  Anda dapat menyelesaikan latihan-latihan itu dengan baik berarti Anda merasa senang mendapat pujian. Jika belum bisa, Anda mendapat ‘hukuman’ Karena harus mempelajari unit yang sama lagi. Lihat dan pelajari rambu-rambunya. Di akhir sajian   mata  kuliah  ini,  Anda  akan ‘merasa’ telah memiliki kemampuan mengembangkan pembelajaran IPA SD di masa mendatang yang sesuai dengan lingkungan Anda.
Benyamin Bloom dan kawan-kawannya mengerjakan suatu proyek besar yang memerlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk menyusun taksonomi hirarki belajar. Hasil belajar tercermin dalam tiga ranah (domain), yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif merujuk apa yang dipikirkan seseorang (Bloom, 1957), ranah afektif merujuk apa yang dirasakan seseorang (Krathwohl, 1964), dan ranah psikomotor merujuk apa yang dilakukan seseorang (Simpson dkk, 1972).
Hasil belajar akan tercermin dalam ketiga ranah itu secara simultan. Misalnya, Anda berpikir bahwa menyontek itu merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Anda juga dapat merasakan bahwa jika menyontek itu tidak enak, kurang ‘pd’, malu terhadap diri sendiri. Dan, memang Anda tidak pernah melakukannya walaupun banyak teman lain melakukannya. Dalam situasi seperti ini, Anda memiliki suatu kepribadian yang utuh. Apa yang Anda pikirkan, apa yang Anda rasakan, dan apa yang Anda lakukan sama. Keadaan seperti itu dikatakan pendidikan nilai kejujuran berhasil tertanam di dalam diri Anda dengan baik.
Berikut disajikan dengan singkat Taksonomi hasil belajar IPA yang disusun oleh Bloom dan kawan-kawannya (1971):
Pengetahuan dan pemahaman
Pengetahuan tentang fakta
Pengetahuan tentang istilah
Pengetahuan tentang konsep IPA
Pengetahuan tentang konvensi
Pengetahuan tentang ‘trend’ dan sekuen
Pengetahuan tentang klasifikasi, kategori dan kriteria
Pengetahuan tentang teknik dan prosedur
Pengetahuan tentang prinsip ilmiah dan hukum
Pengetahuan tentang teori
Identifikasi pengetahuan di dalam suatu konteks yang baru
Translasi dari simbol yang satu ke simbol yang lain
Proses ilmiah dari penemuan pengetahuan
Pengamatan dan pengukuran
Pengamatan objek dan fenomena
Deskripsi hasil pengamatan dengan bahasa yang sesuai
Pengukuran objek dan perubahannya
Pemilihan instrumen pengukuran
Estimasi dari hasil pengukuran dan penerimaan akan keterbatasan hasil pengukuran
Proses ilmiah dari penemuan pengetahuan
Kesadaran akan keberadaan masalah dan jalan leluarnya
Kesadaran akan keberadaan masalah
Rumusan hipotesis kerja
Memilih cara menguji hipotesis yang tepat
Rancangan percobaan untuk menguji kebenaran hipotesis
Proses ilmiah dari penemuan pengetahuan
Interpretasi data dan formulasi generalilisasi
Pemrosesan data percobaan
Interpretasi data
Penafsiran data dalam bentuk hubungan fungsional
Eksatrapolasi dan intrapolasi
Evaluasi data
Formulasi generalisasi berdasarkan data yang  tersedia
Proses ilmiah dari penemuan pengetahuan
Konstruksi, uji dam revisi model teoritis
Pengakuan akan kebutuhan model teoritis
Formulasi model teoritis untuk mengakomodasi pengetahuan
Verivikasi hubungan yang sesuai dengan model
Deduksi hipotesis baru dari suatu model
Interpretasi dan evaluasi tentang pengujian suatu model
Formulasi model yang direvisi, atau diperhalus, dipertajam
Aplikasi  pengetahuan dan metode ilmiah
Penerapan untuk  masalah baru  pada materi yang sama
Penerapan untuk  masalah baru pada materi yang lain
Penerapan  untuk masalah baru pada bidang bukan IPA
Keterampilan manual
Pengembangan ketrampilan dalam menggunakan alat-alat laboratorium yang sering digunakan
Kinerja dalam menggunakan alat-alat laboratorium yang sering digunakan Sikap dan minat
Menifestasi sikap siswa terhadap IPA dan para ahli IPA
Penerimaan pencarian kebenaran ilmiah sebagai salah satu cara berpikir
Adaptasi sikap ilmiah
Kesenangan melakukan percobaan IPA
Pertumbuhan minat pada IPA
Pertumbuhan minat untuk berkarya dalam bidang IPA
Orientasi
Hubungan antar pernyataan dalam IPA
Pengakuan akan keterbatasan filosofis IPA
Pengakuan perspektif historis dari IPA
Realisasi hubungan antara MIPA, teknologi, social-budaya dan filsafat/teologi
Kesadaran implikasi moral dari IPA
Mari kita ambil contoh lain pada pembelajaran IPA. Para siswa akan belajar tentang termometer, alat pengukur temperatur. Tingkah laku yang bagaimana yang mencerminkan bahwa siswa belum memiliki pengetahuan tentang termometer. Ada banyak hal yang dapat menjadi indikator. Misalnya, melihat termometer terletak di atas meja, siswa tesebut acuh saja. Atau, mungkin sebaliknya, siswa terheran-heran, berdesakkan ingin melihat dan memegangi benda itu. Mereka saling berebut seperti layaknya main bola.  Setelah itu, mereka mengikuti pembelajaran selama dua kali pertemuan tentang panas, para siswa sudah tidak terheran-heran ketika melihat termometer, tidak berebutan seperti main bola lagi karena mereka tahu termometer mudah pecah. Bahkan ada siswa yang lain mungkin ketika mendengar perkataan orang bahwa hari ini sangat panas, langsung bertanya: ”Berapa derajad, ya panasnya?” atau langsung pergi ke dinding melihat pada termometer ruang untuk mengetahui suhu saat itu. Hal-hal seperti itu menunjukkan tingkah laku siswa yang telah memiliki pangetahuan tentang termometer. Jadi, setelah proses pembelajaran termometer, tingkah laku para siswa telah berubah.
Dalam tradisi behavioris, siswa yang belajar  tinggal datang ke sekolah, duduk, menyimak, mendengarkan, mencatat, dan mengulang kembali di rumah serta menghapalkannya untuk menghadapi tes hasil belajar atau ulangan. Sifat dari tes hasil belajar, ulangan, ujian bersifat reproduksi pengetahuan. Cara belajar seperti ini hampir tidak memberi ruang bagi siswa untuk mengembangkan pendapatnya sendiri. Dengan demikian, siswa terkesan lebih pasif. Semua kegiatan terpusat pada guru. Siswa akan ’menirukan’ penjelasan yang diberikan guru di depan kelas. Hanya ada satu penjelasan yang dianggap ’benar’ yaitu penjelasan yang diberikan guru. Dalam evaluasi hasil belajar juga hanya ada satu jawaban yang dinyatakan benar yaitu jawaban yang sesuai dengan penjelasan guru. Karena itu, siswa akan selalu berusaha untuk ’menyesuaikan’ pendapatnya dengan pendapat gurunya, walaupun sesungguhnya tidak sepakat. Dengan cara seperti itulah siswa dapat memperoleh nilai tinggi.
Teori behavioris dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioris dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioris dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behaviorist\ memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar. Kurikulum berbasis filsafat behaviorisme tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional, terlebih lagi pada jenjang pendidikan usia dewasa. Tetapi behaviorisme dapat diterapkan untuk metode pembelajaran bagi anak yang belum dewasa. Karena hasil eksperimentasi bihavioris cenderung mengesampingkan aspek-aspek potensial dan kemampuan manusia yang dilahirkan. Bahkan bihavioris cenderung menerapkan sistem pendidikan yang berpusat pada manusia baik sebagai subjek maupun objek pendidikan yang netral etik dan melupakan dimensi-dimensi spiritualitas sebagai fitrah manusia.
Maka dari itu, agar lebih terarahnya perubahan tingkahlaku dalam pembelajaran IPA SD perlu perumusan kompetensi-kompetensi atau tujuan-tujuan pembelajaran yang diaharapkan secara jelas dan konsekwen dalam bentuk Tujuan Pembelajaran. Prinsip-prinsip belajar menurut teori behavioris adalah
1) proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut terlibat secara aktif di dalamnya;
2) materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur sedemikian rupa sehingga hanya perlu memberikan suatu proses tertentu saja;
3) tiap-tiap respon perlu diberumpan balik secara langsung sehingga siswa dapat dengan segera mengetahui apakah respon yang diberikan betul ataukah tidak;
4) perlu diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan respon apakah bersifat positif ataukah negatif. Penguatan yang bersifat positif akan lebih baik karena memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa, sehingga ia ingin mengulang kembali respon yang telah diberikan (Sagala, S. 2009)


DAFTAR PUSTAKA

Azhar, Arsyad. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Fandy. 2011. Penegrtian Teori Belajar Behavioristik. Di unduh di http://fandy-trk.blogspot.com/2011/01/pengertian-teori-belajar-behavioristik.html. Di akses pada 7 September 2012
Hall, Calvin S. dan Gardner Lindzey. 1993. Teori-teori sifat dan Behavioristik.  Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Jumhana, Nana. 2012. Hakikat belajar ipa dan pembelajaran ipa di Madrasyah Ibtidaiyah. Terdapat di http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=1.%09belajar%20ipa%20definisi%20belajar%20dalam%20paradigma%20absolutisme&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CCUQFjAB&url=http%3A%2F%2Ffile.upi.edu%2FDirektori%2FFIP%2FJUR._PEND._LUAR_BIASA%2F195905081984031-NANA_JUMHANA%2FIPA_DEPAG_JADI_2009%2FMODUL_2_PEMBELAJARAN_IPA___Repaired_.pdf&ei=SwRMUMS7PMHHrQe9zICoBQ&usg=AFQjCNHEN1YUBwk9Ru4azX1ypBdRaUmPLA. Di akses pada tanggal 9 September 2012.
Makmun, Abidin Syamsuddin. 1996. Psikologi Kependidikan. Remaja Rosdakarya. Bandung
Mezzahafizhah. 2011. Dasar Psikologi Pembelajaran IPA. Di unduh di http://mezzahafizhah.blogspot.com/2011/08/dasar-psikologi-pembelajaran-ipa.html. Di akses pada 8 September 2012
Muhyidin. 2011. Teori Belajar Behavioristik. Di unduh di http://zidandemak.blogspot.com/2011/12/teori-belajar-behavioristik.html. Di akses pada 7 September 2012
Santrock, J.W. 2002. Life Span Development : Perkembangan Masa Hidup Terjemahan. Jakarta: Erlangga
Sutrisno,Leo , dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran IPA SD.  Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi : Departemen Pendidikan Nasional
Sutrisno,Leo.2012. Menyusuri pembelajaran sains anak-anak 7: Belajar IPA. Di unduh di http://www.scribd.com/doc/5005550/Menyusuri-Pembelajaran-Sains-8-Belajar-Ipa#download. diakses pada 6 september 2012




Baca selengkapnya »